ASMA’ BINTI ABI BAKAR
Pemilik Dua Ikat Pinggang
Dia adalah Ummu ‘Abdillah dari suku Quraisy At-Tamimiyah, putri dari seorang laki-laki yang pertama kali masuk islam setelah Rasulullah SAW, guru besar islam, yaitu Abu Bakar As-Siddiq Ra. Ibunya adalah Qutailah bintu ‘Abdul ‘UzzaAl-‘Amiriyah. Asma’ adalah ibunda dari seorang shahabat dan pahlawan islam, ‘Abdullah bin Zubair, usianya lebih tua 10 tahun dari pada adiknya, Ummul Mukminin Ra. Ia adalah seorang muhajiroh yang terakhir wafat.
Asma’ adalah orang ke 18 belas yang masuk islam. Dia telah berbai’at kepada nabi Saw. dan mengimaninya dengan keimanan ang teguh. Di antara bukti keteguhan imannya adalah ketika ibunya, Qutailah, yang telah diceraikan Abu Bakar pada masa jahiliyah datang untuk menjenguknya, Asma’ tidak mau mengizinkan ibunya untuk masuk dan tidak mau menerima hadiah sebeluum ia menanyakan haltersebit lebih dulu kepda Rasulullah. Dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat dari Asma’ binti Abi Bakar Ra. bahwa dia berkata: “ibuku pernah mendatangiku pada masa Rasulullah Saw. sedang ibuku adalah seorang musyrik. Akupun pergi menanyakan hal itu pada Rasulullah Saw. Sesampainya di situ aku bertanya: ‘ibuku datang kepdaku dengan penuh antusias lepadaku. Apakah aku harus menyambung silaturrahim dengannya?’ beliau menjawab: ‘ia sambunglah silaturrahim dengan ibumu”.
Asma’ dijuluki Dzatun Nithoqotain (sang pemilik dua ikat pinggang), karena ia telah membelah ikat pinggangnya menjadi dua bagian untuk membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan diantarkannya kepada Rasulullah bersama Abu Bakar ke gua pada hari hijrahnya. Ketika Rasulullah Saw. mengetahui apa yang dilakukan Asma’ pada ikat pinggangnya, beliau memberinya gelar Dzatun Nithoqotain.
Saat Rasulullah bersama Abu Bakar hendak berangkat hijrah dari Makkah menuju Madinah, Abu Bakar membawa semua hartanya sejumlah kurang lebih 5.000 atau 6.000 dirham. Abu Quhafah, kakek Asma’, yang saat itu telah buta kedua matanya, datamg kepada Asma’, lalu berkata: “sesungguhnya Abu Bakar telah menyusahkan kalian dengan kepergiaanya dan tidak menyisakan hartanya untuk kalian”. Sebagai gadis yang suci dan pemberani, Ama’ langsung menjawab: “tidak, ia telah meninggalkan untuk kami harta yang banyak”. Asma’ pun mengambil beberapa krikil dan memasukkannya ketempat penyimpanan uang, lalu ditutupi dengan kain, kemudian dituntunnya tangan kakeknya pada kain tersebut seraya berkata: “inilah harta yang ditinggalkannya untuk kami”. Kakeknya berkata: “baguslah jika dia meninggalkannya untuk kalian”. Tindakan tersebut dilakukan Asma’ semata-mata untuk menenangkan dan menghilangkan kekhawatiran kakeknya yang sudah tua karena ditinggalkan Abu Bakar.
Asma’ pernah mersakan penyiksaan dari musuh Allah, Abu Jahal, yang datang kepadanya untuk merayu agar bersedia menunjukkan persembunyian ayahnya. Walaupun Asma’ pada saat itu masih berusia belia, ia sudah dapat memahami bahwa kata-kata yang keluar dari mulutnya bisa membahayakan keselamatan Rasulallah Saw. dan ayahnya, maka dia memilih tutup mulut. Kalimat yang keluar dari mulutnya tidak lebih dari jawaban: “aku tidak tahu”. Hal ini membuat Abu Jahal marah, lalu menempelengnya dengan keras hingga anting-anting terlepas dari telinganya. Akhirnya Abu Jahal meninggalkannya dengan muka merah padam karena marah atau sifat keras kepala Asma’.
Demikianlah tindakan para pengecut pada setiap zaman. Ketika mereka tidak mampu melumpuhkan kaum laki-laki, mereka melampiaskan kekejiannya pada kaum wanita dan anak-anak.
Tidak lama berada di Makkah, Asma’ pun berhijrah ke Madinah menyusul kaum muslim yang sudah lebih dulu berangkat. Di Madinah Asma’ melahirkan anaknya Abdullah, yang merupakan anak pertama yang lahir dalam islam. (setelah hijrahnya kaum muslim ke Madinah)
Asma’ merupakan sosok wanita teladan yang baik dalam hal kesabaran menghadapi kesulitan hidup, kekurangan pangan, taat pada suami, dan selalu berusaha mencari keridhaannya.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Asma’ binti Abi Bakar berkata: “aku dinikahi Zubair, sedang ia tidak mempunyai apa-apa selain seekor kudanya. Akulah yang merawat kuda itu, memberinya mkan, menumbuk kurma untuk dijadikan makanan baginya. Akulah yang biasa memngambil air dan membuat roti. Aku juga biasa mengangkut kurmu di atas kepalaku dari kebun Zubair, yang diberi Rasulullah, yang jaraknya sejauh 2/3 farsakh (1 farsakh kurang lebih = 8 km). Pada suatu hari, saat aku membawa kurma di atas kepala, aku bertemu Rasulullah bersama beberapa orang shahabat beliau. Beliau memanggilku dan bermaksud memboncengku di belakang beliau. Akan tetapi aku malu bersama laki-laki dan aku teringat pada Zubair (suamiku) yang pencemburu. Akhirnya, beliau pun berlalu. Setibanya di rumah kuceritakan semuanya itu pada Zubair, lalu Zubair berkata: “demi Allah, sesungguhnya kepayahanmu mengangkut biji-biji kurma itu lebih kucemburui dari pada engkau naik kendaraan bersama beliau”. Asma’ berkata: “semua kepayahanku itu baru berakhir sesudah ayahku Abu Bakar (ayahku) mengirimkan seorang pelayan kepadaku hingga aku tidak lagi mengurusi kuda, sehingga seakan-akan beliau telah memerdekakanku.
Kesabaran Asma’ dalam menjalani kehidupan sulit ini membuahkan nikmat ketika Allah mengaruniakan kepadanya dan suaminya rizki yang melimpah. Akan tetepi, kekayaan itu tidak membuatnya sombong dan lupa diri, bahkan ia sangat pemurah dan tidak mau menyimpan kekayaan untuk hari esok. Setiap kali ia sakit, dia menunggu sampai sembuh, kemudian diapun membebaskan budak-budaknya. Dia sering berkata kepada anaknya dan keluarganya: ‘infaqkan dan shadaqahkan dan jangan menunggu sampai ada kelebihan harta (baru bershadaqah).
Asma’ adalah seorang wanita pemberani dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela selama ia berada di jalan yang benar. Ia pernah ikut terjun dalam perang Yarmuk dan berperang selayaknya seorang pahlawan. Ketika terjadi kekacauan dan kerisis keamanan di Madinah pada masa kekuasaan Sa’id bin Al-‘Ashi, ia selalu membawa belati yang disembunyikan di belakangnya. Ketika ditanya orang-orang apa yang akan dilakukannya dengan pisau belati itu, ia menjawab: “apabila ada pencuri mendatangiku, akan kurobek perutnya (dengan belati ini).
Bukti teguhnya kemauan Asma’ Ra. dalam memegang prinsip kebenaran dan menjaga kehormatan diri bisa kita ketahui dari ucpan-ucapannya kepada anaknya, ‘Abdullah bin Zubair , ketika anaknya ini meminta meminta pendapatnya tentang Hajjaj yang mengepung Makkah. Saat itu fisiknya sudah sangat lemah, matanya buta dan usianya mendekati 100 tahun. ‘Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya: “wahai ibu, orang-orang sudah menghianatiku, bahkan sampai istri dan anakku. Tidak ada yang tersisa, kecuali hanya sedikit orang. Mereka pun agaknya sudah tidak tahan untuk bisa sabar lebih lama lagi. Sementara Hajjaj dan pasukannya menawarkan kesenagan dunia apa saja yang kumau, asal aku tinduk kepada mereka. Bagaimana pendapat ibu?”.
Pada umumnya kaum ibu bila dihadapkan dengan keadaan berat seperti ini, mereka pasti akan merasa iba, namun Asma’ mampu mengalahkan rasa kasihan demi menjaga kemuliaan dan harga diri. Dengan tegas ia menjawab: “demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau mengetahi bahwa engkau berda di jalan yang benar dan engkau memang menyeru kepadanya, teruskanlah langkahmu. Sahabat-sahabatmu pun telah terbunuh karena telah mempertahankan kebenaran itu. Janganlah engkau sekali-kali dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Sebaliknya, jika engkau menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk hamba yang mencelakakan dirimu sendiri dan orang-orang yang berjihat bersamamu”.
‘Abdullah bin Zubair berkat: “demi Allah, akupun berpendapat seperti itu, wahai ibu! Hanya saja aku khawatir orang-orang Syam itu akan menyayat-nyayat dan menyalib tubuhku jika aku terbunuh”. Ibunya menjawab: “wahai anakku, sesungguhnya kambing tidak merasakan sakit ketika dikuliti di saat disembelih. Teruskan langkahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah!”.
Ketika ibunya mendekat untuk memeluk dan mengucapkan selamat berpisah, tangannya mentuh baju besi yang dipakai ‘Abdullah. Ia lalu berkata: “Apa-apaan ini, wahai ‘Abdullah? Orang yang memakai ini hanya mereka yang menginginkan sesuatu yang tidak engkau inginkan!!” ia pun segara melepaskan baju besinya dan keluar untuk berperang dengan gagah berani hingga terbunuh. Hajjaj pun memerintahkan agar jenazah ‘Abdullah bin Zubair disalib. Hajjaj mendatangi Asma’ dan berkata: “Wahai ibu, sesungguhnya Amirul Mukminin memberi pesan kepadaku untuk menanyakan apakah engkau membutuhkan sesuatu”. Asma’ menjawab: “Aku bukan ibumu, tapi ibu orang yang disalib di atas batang kayu Tin itu. Aku tidak butuh apapun darimu, tapi aku katakan kepdamu bahwa aku pernah mendengar Rasulallah Saw. bersabda: “Nanti akan muncul di Tsaqib seorang pembohong besar dan seorang yang amat lalim. Adapun siapa pembohong besar itu, kami sudah mengetahuinya, maksudnya Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqofi, sedang seorang yang amat lalim itu ternyata engkau”.
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Hajjaj berkata kepda Asma’ dengan angkuh: “Bagaimana pendapatmu terhadapku tentang apa yang kuperbuat terhadap anakmu, wahai Asma’?” . Dengan tenang Asma’ menjawab: “Engkau telah memporak-porandakan dunianya, sedang dia telah memporak-porandakan akhiratmu”.
Menurut Ibnu Sa’id, Asma’ wafat di Makkah beberapa hari setelah terbunuhnya ‘Abdullah. Abdullah bin Zubair terbunuh pada tanggal 17 jumadil Ula tahun ke-73 Hijriyah. Kendati usia Asma’ hampir mencapai 100 tahun, tidak ada satupun giginya yang tanggal dan pikirannya pun masih normal.
Semoga Allah merahmati Asma’, sang ‘pemilik dua ikat pinggang’. Dia telah menjadi contoh wanita yang teguh dalam kebenaran dan figur wanita teladan yang terpuji.
اللهم اغفر لها وارحمها واعف عنها وأسكنها في أعلى الجنان مع أبيها أبي بكر الصديق رضي الله عنه وصاحبه (سيدنا ونبينا محمد صلى الله عليه وسلم).. ولعل الله يعطيني وإياكم أيها القراء زوجة جميلة صالحة مثل سيدتنا أسماء بنت سيدنا ابي بكر. وأيها القارئات عسى الله أن يجعلكن ممن يقتدي طريقتها حتى تفزن في الدنيا والآخرة آمين....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar