Rabu, 05 Oktober 2016

Sahabat Nabi Sa'id bin Amir Al-Jumahi

SA’ID BIN AMIR AL-JUMAHI
Sa’id bin Amir Al-Jumahi, seorang laki-laki yang membeli Akhirat dengan dunia. Mendahulukan kepentingan Allah dan rasulNya daripada yang lain”. (Para Pakar Sejarah).
Pemuda itu bernama Sa’id bin Amir Al-Jumahi, satu di antara beberapa rombongan orang yang  keluar ke daerah Tan’im, luar kota Mekah untuk memenuhi undangan para pemuka Quraisy supaya menyaksikan prosesi pemenggalan kepala Khubaib bin ‘Adi, salah satu dari beberapa sahabat Nabi Muhammad Saw. setelah ditahan mereka karena penghianatan.
Masa mudanya yang penuh dengan kekayaan dan masa remaja yang menggebu-gebu telah membuat dia mampu menyaingi orang-orang dengan beberapa pangkat, hingga dia setara dengan pemuka-pemuka Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan semacamnya dari kalangan orang-orang yang ada di depan ketika pawai.
Dengan posisinya itu, dia mendapatkan kesempatan untuk melihat tawanan orang-orang Quraisy yang diikat dengan rantai, sementara para wanita, anak-anak dan remaja Quraisy mendorongnya dengan keras ke medan kematian. Agar mereka bisa menyakiti Muhammad Saw. dengan malampiaskan pada tawanan itu dan agar bisa membalaskan dendam orang-orang mereka yang terbunuh dalam perang Badar dengan membunuhnya.
Tatkala iring-iringan banyak orang telah sampai membawa tawanan ke tempat yang dipersiapkan untuk ekskusi matinya, sang pemuda berhenti dalam keadaan berdiri tegak mengarahkan pandangannya kepada Hubaib yang sedang didekatkan ke tiang salib, dia mendengar suara lirih tawanan yang masih tetep terdengar di antara teriakan-teriakan wanita dan anak-anak. Tawanan itu berkata: “Kalau kalian berkenan, tolong lepaskan aku sebelum kematianku untuk melaksanakan shalat dua rakaat”.
 Kemudian, pemuda itu melihat tawanan yang sedang menghadap Ka’bah dan shalat dua rakaat, alangkah bagus dan sempurnanya dua rakaat shalatnya.
Setelah itu, dia melihat sang tawanan menghadap pemuka kaum Quraisy dan berkata: “Andai aku tidak takut kalian semua mengira aku memperlama shalat karena takut mati, nisacaya aku akan memperbanyak shalat”.
Kemudian, dia menyaksikan dengan dua mata kepalanya sendiri orang-orang Quraisy memutilasi Hubaib hidup-hidup, lalu memotong badannya sepotong demi sepotong, dan mereka berkata: “Apakah kamu senang jika Muhammad di posisimu sementara kamu selamat?”.
Dalam keadaan bersimpah darah, Hubaib menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan senang jika aku dalam keadaan aman berpesta dengan istri dan anakku sementara Nabi Muhammad Saw. tertusuk duri”.
Maka orang-orang yang ada di tempat itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berteriak dengan nyaring: “Bunuh dia…! Bunuh dia…!
Kemudian Sa’id bin Amir melihat Hubaib di atas tiang salib mengangkat pandangannya ke langit dan berdoa: “ Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bunuhlah mereka dalam keadaan terpotong-potong anggota badannya dan jangan biarkan dari mereka seorangpun”.
Kemudian hubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam keadaan badan yang penuh dengan sabetan pedang dan tusukan tombak yang tak terhitung jumlahnya.
Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah dan melupakan peristiwa Hubaib serta kematiannya seiring dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Tetapi sang pemuda yang sudah hampir menginjak usia baligh, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak dapat menghilangkan Hubaib dari ingatannya walau sekejab.
Dia selalu melihat Hubaib dalam mimpinya ketika tidur, melihat dalam hayalannya ketika terjaga, bayangan Hubaib yang sedang shalat dua rakaat dengan begitu tenang dan damai di depan tiang salib, dan dia selalu mendengar di kedua telinganya gema suara Hubaib yang mendoakan jelek orang-orang Quraisy sehingga dia takut disambar geledek atau kejatuhan batu besar dari langit.
Kemudian, Hubaib [tanpa ia sadari] telah mengajarkan kepadanya sesuatu yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Dia mengajarkan bahwa kehidupan yang benar adalah akidah dan perjuangan yang sesuai dengan jalan akidah hingga mati. Dia juga mengajarkan bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban-keajaiban dan akan menciptakan mukjizat-mukjizat. Dia mengajarkan sesuatu yang lain, bahwa orang yang dicintai oleh para sahabatnya dengan segala cinta ini adalah Nabi yang dikokohkan dari langit.
Ketika itu, Allah melapangkan hati Sa’id bin Amir Al-Jumahi untuk memeluk islam, maka dia berdiri di depan orang-orang dan mengumumkan kebebasannya dari dosa-dosa orang Quraisy, telah menarik diri dari patung-patung dan berhala-berhala mereka dan dia telah masuk agama Islam.
Sa’id bin Amir Al-Jumahi hijrah ke Madinah dan selalu bersama Nabi Muhammad Saw. dan ikut serta dalam perang Khaibar bersama Nabi dan di beberapa perang lainnya.
Ketika Nabi telah berpulang ke hadapan Tuhannya Swt., Sa’id menjadi pedang yang terhunus di tangan dua khlifah, Abu Bakar dan Umar R.a. Dia hidup menjadi tauladan istimewa dan kokoh untuk orang mukmin yang ingin membeli akhirat dengan dunia dan mendahulukan kerelaan Allah serta pahalaNya daripada kesenangan-kesenangan hati dan keinginan-keinginan badan.
Dua khalifah Rasul (Abu Bakar dan Umar R.a.) mengenal dia sebagai sosok yang jujur dan takwa, beliau berdua selalu mendengar nasihat dan menyimak perkataannya.
Di awal-awal Umar menjabat sebagai khlifah, Sa’id masuk ke rumahnya dan berkata: “Wahai Umar, aku wasiatkan kepadamu agar takut kepada Allah dalam urusan manusia dan jangan takut kepada manusia dalam urusan Allah. Jangan sampai perkataanmu berbeda dengan pekerjaanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang dibenarkan perbuatan ”.
Wahai Umar, pantaulah selalu orang-orang yang urusannya Allah percayakan kepadamu, orang-orang muslim yang jauh dan yang dekat. Cintailah untuk mereka apa yang kamu cinta untuk dirimu dan keluargamu, bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu dan keluargamu, selamilah samudera luas untuk mendapatkan kebenaran dan jangan takut kepada kecamannya orang yang mengecam”.
Maka Umar R.a. berkata: “Siapa yang mampu melakukan itu wahai Sa’id?”, Sa’id menjawab: “Yang mampu melakukannya adalah orang sepertimu, orang yang diangkat oleh Allah untuk mengurus ummat Muhammad Saw. dan tidak ada seorangpun antara dia dan Allah
Ketika itu, Umar bin Khattab mengajak Sa’id untuk membantunya, dan berkata: “Aku mengangkatmu sebagai penguasa daerah Himsh”, maka Sa’id menjawab: “Aku ingatkan kamu kepada Allah agar tidak menceburku ke dalam fitnah”, maka Umar marah dan berkata: “Celakalah kalian, kalian telah meletakkan urusan ini (Khilafah) di leherku, lalu kalian membiarkanku! Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu”.
Kemudian Umar mengangkat Sa’id sebagai penguasa Daerah Himsh, dan berkata: “Sudikah kamu, kita menentukan gajimu?” dia menjawab: “Apa yang akan aku lakukan dengan gaji itu, Wahai Amirul Mukminin? Sedangkan pemberian yang aku terima dari kas negara sudah lebih dari kebutuhanku” lalu dia pergi menuju Kota Himsh.
Dalam waktu yang tidak lama, datanglah kepada Amirul Mukminin beberapa orang kepercayaannya dari penduduk Himsh, lalu Umar berkata kepada mereka: “Tulislah untukku nama-nama orang-orang fakir kalian agar aku penuhi kebutuhan mereka!”, lantas mereka menyodorkan buku laporan dan ternyata di dalamnya terdapat nama Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir, maka Umar bertanya: “Siapa Sa’id bin Amir?”, mereka mendawab: “Pemimpin kita”, Umar bertanya: “Apakah pemimpin kalian fakir?”, mereka menjawab: “Ia, sungguh telah berlalu beberapa malam yang panjang atasnya, sementara tidak pernah ada api yang dinyalakan di rumahnya”, maka Umar menangis, hingga air mata membasahi jenggotnya, lalu pergi mengambil 1000 Dinar dan memasukkannya ke dalam kantong dan berkata: “Sampaikanlah kepadanya salam dariku dan katakanlah: Amirul Mukminin telah mengirim kepadamu harta ini agar dipergunakan untuk memenuhi kebutuhanmu”.
Utusan itu telah sampai kepada Sa’id dengan membawa sebuah kantong, lalu Sa’id melihatnya, ternyata berisi beberapa Dinar, maka Sa’id langsung menjauhkan uang itu darinya dan berkata: “Inna lillahi wainna ilaihi roji’un”, seakan-akan ada sesuatu yang jatuh atau bencana menimpa halaman rumahnya, hingga istrinya bangun terkaget-kaget dan berkata: ”Ada apa Sa’id, apakah Amirul Mukmini telah wafat?”, Sa’id menjawab: “Bahkan lebih dari itu”, istrinya bertanya: “Apakah orang-orang islam kalah dalam sebuah peperangan?”, Sa’id menjawab: “Bahkan lebih dari itu”, istrinya bertanya: “Apa yang lebih dari itu?”, Sa’id menjawab: “Dunia telah masuk kepadaku untuk merusak akhiratku dan fitnah telah menimpaku”, istrinya berkata: “Selamatkanlah dirimu dari dunia itu”, padahal istrinya tidak tahu tentang urusan Dinar itu sedikitpun. Sa’id bertanya: “Maukah kamu membantuku dalam hal itu?”, istrinya berkata: “Ia”. Lalu dia mengambil dinar-dinar itu kemudian memasukkannya ke dalam beberapa kantong dan membagikannya kepada orang-orang muslim yang fakir.
Tak lama dari itu, Umar bin Khattab R.a. ada kunjungan ke rumah-rumah di kota Syam, sedang mencari tahu keadaannya. Ketika sampai ke daerah Himsh - waktu itu kota tersebut dijuluki Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah dan kota Himsh disamakan dengan kota Kufah karena banyaknya pengaduan para penduduk tentang para pegawai dan pemimpinnya sebagaimana yang dilakukan penduduk Kufah - maka setelah sampai di Himsh beliau ditemui oleh penduduk di sana untuk mengucapkan salam, lalu beliau berkata: “Bagimana kalian mendapatkan pemimpin kalian?”, maka mereka mengadukan kepadanya dan menyebutkan empat hal, yang setiap satu dari keempatnya lebih besar daripada yang lain.
Umar bin Khattab bercerita: “Maka, aku kumpulkan antara pemimpin dan rakyatnya, seraya aku berdoa agar Allah tidak mengecewakan dugaanku tentang pemimpin itu, karena aku sangat mempercayainya. Maka, tatkala mereka dan pemimpinnya sudah berkumpul di hadapanku, aku bertanya: Apa yang kalian adukan tentang pemimpin kalian?, mereka menjawab: dia tidak keluar menemui kita kucuali setelah mata hari mulai meninggi. Maka aku bertanya: Apa komentarmu tentang hal itu wahai Sa’id?, lalu dia diam kemudian berkata: Demi Allah sebenarnya aku tidak mau menuturkan tentang hal ini, ketahuilah bahwa aku memang harus melakukannya, karena keluargaku tidak mempunyai pembantu, karena itu, aku harus bangun pagi, lalu aku membuat adonan buat mereka, kemudian aku biarkan sebentar sehingga matang, lalu aku hidangkan untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menuju orang-orang. Umar menuturkan, maka aku berkata kepada mereka: Apa lagi yang kalian adukan tentangnya?, mereka berkata: Sesungguhnya dia tidak pernah mengabulkan permintaan kita di malam hari. Aku berkata: Apa komentarmu tentang ini wahai Sa’id? Dia menjawab: sesungguhnya aku demi Allah tidak mau mengumumkan hal ini juga, karena aku telah menjadikan siangku untuk mereka dan malamku untuk Allah. Aku berkata: Apa lagi yang kalian adukan tentang pemimpin kalian? Mereka menjawab: dalam sebulan, ada satu hari yang dia tidak menemui kita. Aku bertanya: apa ini wahai Sa’id? Dia menjawab: Aku tidak punya pembantu wahai Amirul Mukmini, aku tidak punya baju selain yang sedang aku kenakan, maka aku mencucinya sekali dalam sebulan dan aku menunggu seharian sampai kering, kemudian aku keluar menemui mereka di akhir hari. Aku berkata: ada lagi yang kalian adukan tentang pemimpin kalian? Mereka berkata: suatu saat dia pernah pingsan, maka tidak mengahadiri orang-orang yang ada di majlisnya. Aku berkata: Apa ini wahai Sa’id? Dia menjawab: Saya menyaksikan kematian Hubaib bin ‘Adi, sewaktu aku masih musyrik. Aku melihat orang-orang Qurasisy memutilasi dia hidup-hidup, mereka berkata kepadanya: Apakah kamu senang jika Muhammad ada di tempatmu? Maka dia menjawab: Demi Allah, aku tidak akan senang, jika aku aman bersama istri dan anakku, sementara Muhammad tertusuk duri. Dan aku tidak ingat hari itu bagaimana aku tidak menolongnya kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak akan mengampuniku dan aku menjadi pingsan”. Ketika itu Umar gembira dan berkata: Segala puji milik Allah yang tidak mengecewakan dugaanku kepada Sa’id.
Kemudian Khalifah Umar mengirimkan kepadanya 1000 Dinar agar dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tatkala istrinya melihat uang itu, dia berkata: “Segala puji milik Allah yang telah memberikan kecukupan kepada kita hingga tidak perlu pelayananmu, belilah bahan makanan untuk kita dan sewalah pekerja buat kita”. Maka Sa’id berkata kepadanya: “Maukah kamu sesuatu yang lebih baik dari itu?” isterinya menjawab: “Apa itu?”, Sa’id menjawab: “Kita berikan kembali harta itu kepada Dzat yang membawanya, walaupun kita sangat membutuhkannya”, isterinya menjawab: “bagaimana caranya?”, Sa’id menjawab: “Kita hutangkan harta-harta itu untuk Allah dengan sebaik-baik hutang”, isterinya menjawab: “Ia, semoga kamu mendapatkan balasan yang baik”. Maka sebelum meninggalkan tempatnya dia memasukkan dinar-dinar itu ke dalam beberapa bungkus dan berkata kepada salah satu dari beberapa keluarganya: “Bawalah harta ini kepada jandanya si fulan, anak-anak yatim si fulan, orang-orang miskin keluarga si fulan dan orang-orang fakir keluarga si fulan”.
Semoga Allah meridoi Sa’id bin Amir Al-Jumahi. Sunggah, dia termasuk dari orang-orang yang lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun dia sangat membutuhkan.

Tidak ada komentar: